7/24/11

PENDEKATAN SOSIO-EMOSIONAL



Pendekatan sosio-emosional dalam pengelolaan kelas berakar pada psikologi penyuluhan dan klinis sehingga menekankan pentingnya hubungan interpersonal. Tugas pengelolaan yang amat pokok dari guru adalah membangun hubungan interpersonal dan mengembangkan iklim sosio-emosional yang positif, pokok pikiran Carl Rogers mengatakan bahwa faktor yang amat berpengaruh terhadap peristiwa belajar adalah mutu sikap yang ada dalam hubungan interpersonal antara guru dan siswa.

Pendekatan Sosio-Emosional memandang bahwa pengelolaan kelas yang efektif akan tercipta apabila terjadi hubungan yang baik di dalam kelas. Hubungan tersebut meliputi hubungan antara guru dan murid serta hubungan antar murid. Dalam hal ini guru merupakan kunci pengembangan hubungan tersebut. Oleh karena itu seharusnya guru mengembangkan iklim kelas yang baik melalui pemeliharaan hubungan antar pribadi di kelas. Untuk terciptanya hubungan guru dengan murid yang positif, sikap mengerti dan sikap ngayomi atau sikap melindungi diperlukan di kelas.
Dalam hal ini, Carl A. Rogers mengemukakan pentingnya sikap tulus dari guru (realness, genuiness, congruence); menerima dan menghargai peserta didik sebagai manusia (acceptance, prizing, caring, trust) dan mengerti dari sudut pandangan peserta didik sendiri (emphatic understanding).
Sedangkan Haim C. Ginnot mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, guru berusaha untuk membicarakan situasi, bukan pribadi pelaku pelanggaran dan mendeskripsikan apa yang ia lihat dan rasakan, serta mendeskripsikan apa yang perlu dilakukan sebagai alternative penyelesaian.
Sementara itu, Rudolf Draikurs mengemukakan pentingnya Democratic lassroom Process, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memikul tanggungjawab, memperlakukan peserta didik sebagai manusia yang dapat secara bijak mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya, dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menghayati tata aturan masyarakat.
Pengajar yang akan menerapkan pendekatan hubungan interpersonal (antar pribadi) perlu menyadari kenyataan bahwa “Cinta” dan “rasa harga diri” merupakan dua kebutuhan dasar yang ingin dimiliki oleh pembelajar jika pembelajar itu ingin mengembangkan perasaan harga diri sukses. Suatu pengaiam sukses perlu muncul pada diri pembelajar dan pembelajar perlu belajar meraih sukses melalui pengalaman sendiri. Tugas belajar dalam pengelolaan kelas adalah membuka kemungkinan sebesar-besarnya bagi pembelajar bertindak dan menghayati sendiri. Bagi pembelajar merupakan kesempatan untuk memandang dirinya sebagai individu yang berharga. Oleh karena itu setiap pembelajar perlu dilayani dengan penuh penghargaan sehingga pengajar mengupayakan sejauh mungkin kemungkinan yang menimbulkan kegagalan yang efeknya bisa membunuh motivasi, kecemasan, tanpa harapan, dan menyingkirkan perangsang timbulnya tingkah laku menyimpang.
Kelas yang diliputi oleh hubungan inter personal yang baik merupakan kondisi yang beriklim sosio emosional yang baik. Kelas yang berkondisi dan bersituasi demikian menjadikan pembelajar merasa mau dan tentram tanpa suatu ancaman atau dikejar-kejar oleh kekuasaan, pendekatan tertentu. Penekanan sistem sosio emosional berakar dari pandangan yang mengutamakan hubungan saling menerima, sikap empati sebagai sesama manusia. Melalui pendekatan ini pembelajar benar-benar percaya bahwa pengajar penuh dedikasi dalam membina belajarnya. Apabila pembelajar berperilaku menyimpang maka pengajar dapat memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat salah, dan menolak perbuatan yang menyimpang.
Fungsi pengajar ialah mengembangkan hubungan baik dengan setiap pembelajar. Bila pengajar ingin secara maksimal membantu pembelajar belajar perlu melaksanakan sikap kesadaran diri sendiri, keterbukaan, sikap menerima, menghargai mau mengerti dan menaruh rasa empati.
Menurut Glosser, penciptaan iklim sosio emosional terjadi bila terdapat keterlibatan pengajar dalam suasana belajar itu untuk mengembangkan tanggung jawab sosial dan merasa dirinya “berarti” bagi orang lain. Bagi mereka yang melakukan perilaku meyimpang hendaknya dibantu untuk memperbaiki diri. Salah satu saran dari Glosser untuk mengatasi masalah kelas/kelompok hendaknya melalui pertemuan kelas untuk memecahkan masalah sosial.
Pandangan Dreikurs terhadap iklim sosio emosional adalah :pentingnya suasana kelas yang demokratis, pengajar dan pembelajar bersama sama mewujudkan tanggung jawab terhadap kelas demi kelancaran belajar mengajar ,dan pemikiran dan kewaspadaan terhadap pengaruh akibat-akibat tertentu baik akibat alamiah dan akibat logis.
Dengan pendekatan iklim sosio emosional ini pembelajar dipandang sebagai “keseluruhan pribadi yang sedang berkembang”, bukan semata-mata sebagai seorang yang mempelajari pelajaran tertentu saja.
Anggapan dasar dari pengelolaan kelas ini bahwa :
a. Kegiatan pembelajar di sekolah berlangsung dalam suatu kelompok tertentu.
b. Kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dimiliki oleh
sistem sosial lainnya.

KELEBIHAN PENDEKATAN SOSIO EMOSIONAL
1. Siswa merasa nyaman di kelas kerena terjalin hubungan yang baik dengan guru.
2. Penyelesaian suatu masalah dipecahkan bersama melalui pertemuan kelas.
3. Pelajaran diyakini akan lebih mudah diterima karena siswa merasa nyaman, tentram dan aman dengan situasi yang ada.
4. Terbinanya sikap demokratis.
5. Selalu ada penghargaan , jadi setiap kegagalan tidak akan memebunuh motivasi siswa.
6. Siswa belajar untuk saling menghargai teman ataupun guru.



KEKURANGAN PENDEKATAN SOSIO EMOSIONAL
1. Apabila hubungan siswa terlalu dekat dengan guru atau guruu terlalu baik akan menimbulkan sikap siswa yang terlalu bebas.
2. Sulit untuk memeahami karakter emosi setiap siswa di kelas, maka diperlukan ketrampilan guru yang lebih untuk membuat iklim sosio emosional yang kondusif.

5/1/11

MODEL KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DENGAN TINGKAT KEMATANGAN ANGGOTA RENDAH KE SEDANG ATAU MODERAT RENDAH

A. Kepemimpinan Situasional.

Pendekatan situasional atau kontingensi didasarkan bahwa keberhasilan seorang pemimpin selain ditentukan oleh sifat- sifat dan perilaku pemimpin juga dipengaruhi oleh situasi yang ada dalam organisasi. Model kepemimpinan dari pendekatan ini antara lain model kepemimpinan kontingensi Flidler, dan model kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard

Situasi adalah gelanggang yang perlu bagi pemimpin untuk beroperasi. Bagi sebagian besar manajer, situasi bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan, tetapi keliru jika menyalahkan situasi. Dalam menerapkan kepemimpinan situasional, manajer harus didasarkan pada analisis terhadap situasi yang dihadapi pada suatu saat tertentu dan mengidentifikasikan kondisi anggota atau anak buah yang dipimpinnya. Kondisi bawahan merupakan faktor yang penting, karena selai sebagai individu bawahan juga sebagai kekuatan kelompok yang kenyataannya dapat menentukan kekuatan pribadi yang dipunyai pemimpin. ( Veitzal Rivai, 2003:72)

B. Model Kepemimpinan Situasional

Ada dua model kepemimpinan situasional disini yang akan dibahas yaitu Model kepemimpinan kontingensi Fielder dan model kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard.

1. Model kepemimpinan Kontingensi Fielder

Teori ini tidak membahas gaya kepemimpinan apa yang paling baik dan gaya kepemimpinan apa yang tidak baik, tetapi teori ini mengemukakan bagaimana tindakan seorang manajer dalam situasi tertentu kepemimpinannya yang efektif. Teori ini juga tidak membahas gaya dan perilaku yang berpola tetapi berdasarkan situasi kemudian melakukan pendekatan yang tepat. Dengan situasi yeng berbeda maka pendekatan yang dilakukanpun akan berbeda.

Model kepemimpinan ini mengemukakan tiga variable utama yang menentukan suatu situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi pemimpin :
a. Hubungan pemimpin dengan anggota kelompok.

b. Derajat struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanankan.

c. Kedudukan (posisi) kewenangan pemimpin berdasarkan kewenangan formal yang dimiliki.

Ketiga variable situasi ini dikatkan dengan pendekatan yang berorientasi pada tugas, hal ini tergantung pada situasi yang ada pada saat tertentu. Kombinasi antara situasi yang dihadapi oleh pemimpin dengan perilaku kepemimpinan yang tepat akan menentukan efektifitas kepemimpinan. Yang dimakud perilaku yang tepat adalah dalam situasi apa perilaku pemimpin berorientasi pada tugas dan dalam situasi apa perilaku pemimpin berorientasi pada hubungan.

Perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan akan efektif dalam situasi yang moderat misalnya pemimpin yang menghadapi situasi ketika derajat variabel situasi hubungan pemimpin dan bawahan rendah, tetapi kedua variabel yang lain derajatnya tinggi. Atau dalam situasi lain yaitu variable posisi kewenangan pemimpin derajatnya rendah tetapi variabel yang lain derajatnya tinggi.

Dapat disimpulkan dari model kepemimpinan kontingensi, perilaku pemimpin yang efektif tidak berpola dari satu gaya tertentu, melainkan dimulai dengan mempelajari situasi tertentu pada satu saat tertentu. Yang dimaksud dengan situasi tertentu adalah adanya tiga variabel yang dijadikan dasar sebagai perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan, tetapi tidak berarti bahwa tugas tidak pernah berorientasi pada hubungan.

2. Model Kepemimpinan Situasional menurut Hersey dan Blanchard

Teori kepemimpinan situasional, teori ini dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard. Kepemimpinan situasional menurut Harsey dan Blanchard adalah didasarkan pada saling berhubungannya diantara hal-hal berikut: Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan dan tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukan dalam melaksankan tiugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu (Thoha, 1983:65).

Model ini didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan diagnosis bagi seorang manajer tidak bisa diabaikan , seperti terlihat pada “Manajer yang berhasil harus seorang pendiagnosis yang baik dan dapat menghargai semangat mencari tahu”. Apabila kemampuan motif serta kebutuhan bawahan sangat bervariasi , seorang pemimpin harus mempunyai kepekaan dan kemampuan mendiagnosis agar mampu membaca dan menerima perbedaan- perbedaan itu.

Manajer harus mempu mengidentifikasi isyarat- isyarat yang terjadi di lingkungannya tetapi kemampuan mendiaknosis belum cukup untuk berperilaku yang efektif. Manajer harus mampu untuk malakukan adaptasi kepemimpinan terhadap tuntutan lingkungan dimana dia memperagakan kepemimpinannya. Dimana seorang manajer harus mempunyai flesibelitas yang bervariasi. Kebutuhan yang berbeda pada anak buah membuat dia harus diberlakukan berbeda pula, walaupun banyak praktisi yang menganngap tidak praktis klau dalam setiap kali mengambil keputusan harus terlebih dahulu mempertimbangkan setiap variable situasi.

Dasar model kepemimpinan situasional, adalah:

b. Kadar bimbingan dan pengarahan yang diberikan oleh pemimpin (perilaku tugas).

c. Kadar dukungan sosio emosional yang disediakan oleh pemimpin (perilaku hubungan).

d. Tingkat kesiapan atau kematangan yang diperlihatkan oleh anggota dlam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam mencapai tujuan tertentu.

Konsep ini menjelaskan hubungan antara perilaku kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan anggota kelompok atau pengikutnya. Teori ini menekankan hubungan pemimpin dengan anggota hingga tercipta kepemimpinan yang efektif, karena anggota dapat menentukan keanggotaan pribadi yang dimiliki pemimpin.

Kematangan atau maturity adalah bukan kematangan secara psikologis melainkan menggambarkan kemauan dan kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas masing- masing termasuk tanggung jawan dalam melaksanakan tugas tersebut juga kemauan dan kemampuan mengarahkan diri sendiri. Jadi, variable kematangan yang dimaksud adalah kematangan dalam melaksanakan tugas masing- masing tidak berarti kematangan dalam segala hal.

Kematangan anak buah adalah kemampuan yang dimiliki oleh anak buah dalam menyelesaikan tugas dari pimpinan, termasuk didalamnya adalah keinginan atau motivasi mereka dalam menyelesaiakan suatu tugas. Kematangan individu dalam teori kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard dibedakan dalam 4 kategori kematangan yang masing- masisng punya perbedaan tingkat kematangan sebagai berikut:

M1: Tingkat kematangan anggota rendah

Ciri-cirinya : adalah anggota tidak mampu dan tidak mau melaksanakan tugas, maksudnya:

Kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas rendah dan anggota tersebut juga tidak mau bertanggung jawab.

Penyebabnya: tugas dan jabatan yang dijabat memang jauh dari kemampuan , kurang mengerti apa kaitan antara tugas dan tujuan organisasi, mempunyai sesuatu yang diharapkan tetapi tidak sesuai dengan ketersediaan dalam organisasi.

M2: Tingkat kematangan anggota rendah ke Sedang atau Moderat Rendah

Ciri- cirinya: anggota tidak mampu melaksanakan tapi mau bertanggung jawab, yaitu walaupun kemampuan dalam melaksanakan tugasnya rendah tetapi memiliki rasa tanggung jawab sehingga ada upaya untuk berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti tujuan yang ingin dicapai.

Penyebabnya : anggota belum berpengalaman atau belum mengikuti pelatihan dan pendidikan tetapi memiliki motivasi tinggi, menduduki jabatan baru dimana semangat tinggi tetapi bidangnya baru dan selalu berupaya mencapai prestasi, punya harapan yang sesuai dengan ketersediaan yang ada dalam organisasi.

M3: Tingkat kematangan anggota sedang ke tinggi atau moderat tinggi.

Ciri- cirinya: anggota mampu melaksanakan tetapi tidak mau. Yaitu m,ereka yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas tetapi karena suatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas tersebut tidak dilaksanakan.

Penyebabnya : anggota merasa kecewa atau prustasi misalnya: baru saja mengalami alih tugas dan tidak puas dengan penempatan yang baru.

M4: Tingkat Kematangan Anggota Tinggi

Ciri- cirinya: anggota mau dan mampu, yaitu : mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas ataupun memecahkan masalah dan punya motivasi tinggi serta besar tanggungjawabnya. Mereka adalah yang berpengalaman dan punya kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas. Merteka mendapat kepuasan atas prestasinya dan yakin akan selalu berhasil.

Merujuk pada tingkat kematangan masing- masing kelompok atau anggota kelompok, maka perilaku kepemimpinan harus disesuaikan demi tercapainya efektifitas kepemimpinan berdasarkan analisis pemimpin terhadap tingkat kematangan anggota, digunakan kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Ada beberapa kombinasi perilaku kepemimpinan yang merujuk pada kematangan yaitu :

Tingkat Kematangan

Perilaku kepemimpinan

Rendah (M-1)

Tidak mau dan tidak mampu

Rendah ke sedang atau moderat rendah (M-2) Tidak Mampu tapi mau

Sedang ke tinggi atau moderat tinggi (M-3) Mampu tapi tidak mau

Tinggi (M-4)

Mau tapi mampu

Instruksi (S-1)

Tinggi tugas dan rendah hubungan.

Konsultasi (S-2)

Tinggi tugas dan tinggi hubungan.

Partisipasi (S-3)

Rendah tugas dan tinggi hubungan

Delegasi (S-4)

Rendah tugas dan rendah hubungan.


Perilaku kepemimpinan seseorang menghadapi kelompok secara keseluruhan harus berbeda- beda dengan menghadapi individu anggota kelompok, demikian pula perilaku kepemimpinan manajer dalam menghadapi tiap- tiap individu harus berbeda- beda tergantung kematangannya. Masing- masing punya perbedaan tingkat kematangan.

Menurut teori ini pemimpin haruslah situasional, setiap keputusan yang dibuat didasarkan pada tingkat kematangan anak buah, ini berarti keberhasilan seorang pemimpin adalah apabila mereka menyesuaiakan gaykepemimpinanya dengan tingkat kedewasaan atau kematangan anak buah.Tingkat kedewasaan atau kematangan anak buah dapat dibagi menjadi empat tingkat yaitu:

Pertama intruksi adalah untuk pengikut yang rendah kematangannya, orang yang tidak mampu dan mau memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki keyakinan. bawahan seperti ini masih sangat memerlukan pengarahan dan dukungan, masih perlu bimbingan dari atasan tentang bagaimana, kapan dan dimana mereka dapat melaksakanya tanggung jawab/tugasnya.

Kedua konsultasi adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang, orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.

Ketiga partisipasi adalah bagi tingkat kematangan dari sedang kerendah, orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkeinginan untuk melakukan sesuatu tugas yang diberikan. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan.

Keempat delegasi adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi, orang-orang pada tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggung jawab. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas/tangung jawabnya (Thoha, 1983:74-76).




Kesimpulan

Model kepemimpinan untuk Tingkat kematangan anggota rendah ke Sedang atau Moderat Rendah yang mempunyai Ciri- cirinya: anggota tidak mampu melaksanakan tapi mau bertanggung jawab, yaitu walaupun kemampuan dalam melaksanakan tugasnya rendah tetapi memiliki rasa tanggung jawab sehingga ada upaya untuk berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti tujuan yang ingin dicapai. Penyebabnya : anggota belum berpengalaman atau belum mengikuti pelatihan dan pendidikan tetapi memiliki motivasi tinggi, menduduki jabatan baru dimana semangat tinggi tetapi bidangnya baru dan selalu berupaya mencapai prestasi, punya harapan yang sesuai dengan ketersediaan yang ada dalam organisasi. Konsultasi adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang, orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.

Saran

Dalam memimpin suatu organisasi atau perusahaan sebaiknya kita menggunakan gaya kepemimpinan situasional dengan mengetahui situasi dan kematangan anggotannya agar terjadi efektifitas dan efisiensi dalam kepemimpinan, selain itu untuk meningkatkan produktifitas anggotannya.

DAFTAR PUSTAKA

Thoha, Miftah. 1983. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Rajawali Pers.

Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada

4/29/11

Aliran Filsafat Progresivisme

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME

PENGERTIAN PROGRESIVISME
Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak didik (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).
Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
Progresivisme memandang bahwa lingkungan yang ada, baik yang mengenai manusi maupun yang lain, tidak bersifat sama atau statis, tetapi selalu mengalami perubahan. Perubahan- perubahabn tersebut disebabkan oleh kemampuan manusia dalam mempelajari banyak hal dan memikirkan serta mengantisipasi hal- hal yang akan datang. Meskipun dalam kehidupan manusia ada hal- hal yang mengecewakan, seperti kekurangan berbagai percobaan yang ada. Namun kekurang berhasilan itu dapat dikoreksi yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi lebih positif. Sebagai contoh, berbagai ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia dapat mengungkap rahasia alam sehingga manusia mempu memanfaatkan dan bahkan menguasainya.
Dengan menampilkan contoh tersebut, dapat diperkirakan bahwa progresivisme menaruh perhatian yang positif terhadap kemampuan manusia. Perhatian yang positif itu juga berarti kepositifan terhadap kemampuan manusia, kemampuan untuk belajar dan kemampuan untuk mereka-reka tentang manusia atau lingkungannya.
Dengan demikian bila pandangan tersebut dikaitkan dengan aspek kontinuitas dan diskontinuitas, progresivisme berpendapat bahwa karena potensi yang dimiliki oleh manusia, perubahan lingkungan yang dihadapi diharapkan tidaak berakibat negative pada perjalanan hidup sampai ia mengalami dikontinuitas. Bahkan progresivisme berpendapat bahwa peserta didik mempunyai kemampuan untuk bereksperimen dalam perjalanan hidupnnya karena adanya bekal- bekal pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari dan dimiliki. Yang dimaksud dengan bereksperimen adalah mampu menemukan permasalahan dan mencari alternative-alternatif pemecahannya. Pada progresivisme, menculnya kemungkinan adanya diskontinuitas diharapkan dapat diselesaikan oleh manusia(peserta didik).

SEJARAH ALIRAN PROGRESIVISME
Tokoh Francis W. Parker (1837-1902) dilahirkan di New Hampshire. Ayahnya meninggal pada waktu berusia enam tahun. Dua tahun kemudian ia magang di pertanian sambil mengikuti sekolah dasar. Ketika berusia 13 tahun ia meninggalkan pertanian dan mengikuti pendidikan secara penuh.
Pada usia 16 tahun ia mengajar di sebuah sekolah desa, dan pada usia 20 tahun ia diangkat menjadi kepala sekolah di Carrolton, Illinois, tempat ia berhenti karena pecah perang sipil dan menjadi tentara selama beberapa tahun. Setelah perang selesai, ia kembali mengajar di berbagai tempat hingga 1872.
Ia pergi ke Jerman untuk belajar filsafat dan pendidikan serta mengadakan observasi dari dekat terhadap sekolah yang didirikan oleh Pestalozzi dan Froebel. Setelah pulang ke Amerika, ia mulai lagi mengajar dan menjadi inspektur sekolah di Quincy, Massachusstes, 1875. Disini ia memperkenalkan gagasan-gagasan dan praktek-praktek pendidikannya, yang kemudian dikenal sebagai dasar dari pendidikan progresif.
Kemudian menjadi Kepala Sekolah Guru Cook Country di Chicago. Sebelum akhir abad 18, ia diangkat menjadi Kepala Institut Chicago yang didirikan yang didirikan terutama untuk melakukan eksperimen pendidikan. Institut ini kemudian menjadi bagian Universitas Chicago, tetapi sebelum ia meyelesaikan tugasnya, ia meninggal dunia 1902.

BEBERAPA FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA PROGRESIVISME :
1. Semangat radikalisme dan reformasi yang dimulai di sekolah yang dipimpin oleh Francis W. Parker.
2. Masuknya aliran Froebelianisme, yang menekankan perwujudan diri melalui kegiatan sendiri, dan penggunaan metode Montessori yang menekankan pada pendidikan diri sendiri.
3. Perluasan studi tentang perkembangan anak secara ilmiah (psikologi perkembangan).

DASAR FILOSOFIS ALIRAN PROGRESIVISME :
1. Realisme Spiritualistik
Gerakan Pendidikan Progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak.
2. Humanisme Baru
Paham ini menekankan pada penghargaan terhadap martabat dan harkat manusia sebagai individu. Dwengan demikian orientasinya individualistik.

TEORI PENDIDIKAN PROGRESIVISME :
1. Tujuan Pendidikan
Ia menyatakan bahwa tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak.
2. Kurikulum
Kurikulum pendidikan progresf adalah kurikulum yang berisi pengalaman-pengalaman atau kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Contoh kurikulum pendidikan progresif dari Lewster Dix adalah berisi tentang :
- Studi tentang dirinya sendiri
- Studi tentang lingkungan sosial dan alam
- Studi tentang seni
3. Metode Pendidikan
Ada beberapa metode yang diperguanakan dalam pendidikan progresif :
a. Metode Belajar Aksecara
Metode ini lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasiltas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
b. Metode Memonitor Kegiatan Belajar
Mengikuti proses kegiatan-kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan tertentu apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya kegiatan-kegiatan belajar tersebut. Bantuan-bantuan yang diberikan sebagai campur tangan dari luar diusahakan sesedikit mungkin.
c. Metode Penelitian Ilmiah
Progresif merintis digunakannya motode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep, sedangkan metode pemecahan masalah lebih tertuju pada pemecahan masalah-masalah kritis.
d. Pemerintahan Belajar
Progresif memperkenalkan pemerintahan pelajar dalam kehidupan sekolah (student government) dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah, sehingga pelajar diberikan kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan kehidupan di sekolah.
e. Kerjasama Sekolah dengan Keluarga
Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan seluas-luasnya untuk dapat ter-ekspresi-kan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak. Upaya ini mendorong didirikannya sebuah organisasi guru dan orangtua murid, yang dipelopori F.W. Parker di Chicago. Organisasi ini berfungsi sebagai forum komunikasi dan kerjasama dalam upaya pembaharuan pendidikan di sekolah.
f. Sekolah sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan
Pendidikan progresif menganjurkan peranan baru sekolah, tidak lagi hanya tempat anak belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratorium pengembangan gagasan baru pendidikan. Hal ini baru dilaksanakan oleh J. Dewey.

4. Pelajar
a. Pendidikan berpusat pada anak-anak
Pendidkan progresivisme menganut prinsip pendidikan berpusat pada anak. Anak merupakan pusat dari keseluruhan kegiatan-kegiatan pendidikan. Manurut Parker, mengajar yang bermutu berarti aktivitas siswa, pengembangan keproibadian siswa, studi ilmiah tentang pendidikan, dan latihan guru sebagai seniman pendidikan.
b. Tiap anak adalah unik
Pendidikan progresivisme sangat memuliakan harkat dan artabat anak dalam pendidikan. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini, anak adalah anak yang sangta berbeda dengan orang dewas. Setiap anak (menurut Parker), mempunyai individualitas sendiri, anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan dan kecemasan sendiri, yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian anakn harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa.

5. Pengajar
a. Guru dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak mempunyai peranan sebagai :
1) Fasilitator,
2) Motivator,
3) Konselor
b. Guru perlu mempunyai pemahaman yang baiktentang karakterisatik siswa, dan teknik-teknik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan kepada anak, agar dapat melaksanakan peranan-peranan dengan baik.

PERKEMBANGAN PROGRESIVISME

Atas bantuan Ny. Emmons Blaine akhirnya terbentuklah Sekolah Pendidikan (School of Education) di lingkungan Universitas Chicago, dibawah pimpinan Parker pada tahun 1901. Untuk menghormati jasa-jasanya, didirikan Sekolah Dasar Progresif di Chicago, dengan nama Sekolah Francis W. Parker, dengan kepala sekolah Flora Cook, salah seorang pembantu dekatnya, pada tahun 1901, atas bantuan Ny. Baline juga. Selain itu, banyak pula bersiri sekolah progresif lain.
Semenjak tahun 1930, sekolah-sekolah progresif sudah tersebar ke seluruh Amerika Serikat. Sekolah-sekolah tesebut hampir semuanya swasta, dan hampir semuanya berorientasi pada anak, tetapi tidak ada yang betul-betul merupakan sekolah Instrumental. Baru pada tahun 1896 John Dewey mendirikan Laboratory School.
Progresivisme mendapat kritik dari berbagai pihak antara lain :
1. John Dewey mengatakan :
a. Progresivisme terlampau menekankan pada pendidikan individu, sebagaimana dikemukakan pula oleh Dr. Bode dan Counts.
b. Kelas sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar.
c. Progresivisme bergantung pada minat sewaktu dan spontan.
d. Siswa merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil dari tugas-tugas yang dikerjakan.
2. George S. Counts dkk menghendaki agar sekolah berperanan mengambil bagian dalam membangun masyarakat Amerika.
3. Kalangan Gereja Katolik di Amerika Serikat, membentuk gerakan pendidikan yang disebut aliran ”Perennialisme” yang dipelopori Robert M. Hutchin, kemudian ada pula kalangan yang menghendaki pendidikan kembali pada kebudayaan lama yang menjadi inti peradaban manusia, mereka membentuk aliran ”Essensialime” yang dipelopori William C. Bagley.
4. Kaum Eksistensialisme menghendaki agar sekolah menjadi sebuah forum yang melibatkan dialog antara siswa dan guru, yang dipelopori A.S. Neil.
KESIMPULAN
1. Aliran Pragmatisme dan Progresivisme Pendidikan cukup memberikan warna baru bagi pendidikan, terutama bagi perkembangan anak didik.
2. Aliran Progresivisme lahir atas dorongan radikalisme dan orientasi pada anak didik. Selain itu, didukung pula dengan munculnya ilmu baru yaitu Psikologi Perkembangan.
3. Aliran Progresivisme menekankan orientasi pendidikan pada anak didik, sehingga minat anat didik dapat tersalurkan dengan baik.
4. Aliran Progresivisme pendidikan banyak mendapatkan kritikan dari berbagai pihak yang tidak sependapat.
5. Seiring dengan perkembangan zaman, aliran ini akhirnya dikolaborasikan dengan aliran pendidikan lain, sehingga menghasilkan pendidikan seperti yang dirasakan pada saat ini.








Sumber

http://van88.wordpress.com/aliran-filsafat-pendidikan-progresivisme-2/
http://www.hardja-sapoetra.co.cc/2010/03/aliran-pragmatisme-dan-progresivisme.html
http://artikel-makalahpend.blogspot.com/2010/04/filsafat-pendidikan_26.html
Bernadid,Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Siswoyo,Dwi. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.