Perubahan terjadi semakin pesat, hal tersebut dipengaruhi oleh Globalisasi yang menyebabkan batas- batas negara menjadi kabur. Budaya barat masuk dengan begitu mudah sehingga budaya kita semakin berbaur dengan budaya barat. Kita masyarakat yang hidup di Pulau Jawa tentunya kita mempunyai budaya tersendiri, yaitu budaya Jawa. Salah satunya ialah Etika Jawa. Dalam bahasan ini Etika Jawa dan Relevansinya di Masa Kini menjadi topik yang akan dibahas.Dewasa ini di era modern ini kita tidak terasa telah mengalami degradasi Etika Jawa. Moral kita semakin menurun dan sifat Jowo kita semakin pudar. Sebenarnya bagaimana relevansi antara etika Jawa dengan kehidupan di masa sekarang? Sebelum membahas itu, yang akan dibahas terlebih dahulu yaitu tentang etika jawa.
Kata etika dalam arti yang sebenarnya berarti filsafat mengenai bidang moral jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah moral (Suseno1993:6). Etika Jawa mengemukakan tuntunan-tuntunannya berdasarkan dua anggapan dasar tentang struktur realitas seluruh kehidupan manusia yang erat hubungannya satu sama lain. Pertama, kedudukan dan kegiatan setiap manusia dalam dunia telah ditentukan oleh takdir. Kedua, bahwa manusia dengan segala kehendak dan tindakannya pada hakekatnya tidak dapat mengubah perjalanan dunia seisinya yang telah ditakdirkan (Suseno, 1993:227).
Dan sebenarnya etika jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Ada dua kaidah dasar dalam etika jawa yaitu Prinsip rukun dan prinsip hormat. Rukun bertujuan untuk mempertahankan keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Kaidah hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. (Suseno. 2001: 39).
Kerukunan menuntut agar individu bersedia menomorduakan kepentingan pribadi, atau jika perlu, individu harus melepaskan kepentingannya demi kesepakatan bersama. Masyarakat Jawa mendidik anak-anaknya untuk belajar hidup rukun. Pendidikan rukun dimulai dengan belajar rukun dengan anggota keluarga. Sikap untuk tidak bertengkar dengan sesama anggota keluarga ditanamkan dengan ungkapan cecengilan iku ngedohake rejeki. Ungkapan itu mengandung maksud bahwa pertengkaran sesama saudara atau siapa pun akan mengakibatkan anugerah rejeki semakin jauh. Nilai kerukunan selanjutnya diperlebar lagi dalam pergaulan masyarakat (Endraswara,2003a: 85). Perilaku rukun yang paling mencolok antara lain: Gotong royong, Tepo seliro, dan Rembug. Gotong royong bertujuan untuk saling membantu dan untuk melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan bersama. Masyarakat Jawa melaksanakan gotong- royong sebagai upaya untuk menyadari kepentingan individual (Suseno, 2001: 57). Contoh Gotong royong dalam masyarakat jawa antara lain : layat ( bertandang dan membantu orang yang terkena musibah kematian), gugur gunung ( upacara untuk keselamatan desa),dan lain- lain. Tepo saliro adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. Tepo seliro membuat masyarakat meletakan dirinya dalam tata pergaulan sosial berdasarkan keputusan diri dan kesukarelaan hati (Suseno, 2001: 61). Wujud tepo saliro adalah sikap menjaga hubungan baik dalam segala bidang. Hubungan yang baik dalam masyarakat terkait dengan peranan masing-masing anggota masyarakat. Contoh tindakan tindakan tepo seliro antara lain lung tinulung ( Bantu membantu ) dan rembug (musyawarah). Yang pertama yaitu Lung tinulung , lung tinulung merupakan usaha untuk mencapai kerukunan. Nilai kerukunan menjadi alasan untuk membantu sanak saudara yang jauh sekalipun, bahkan apabila mereka tidak disukai dan kita sebenarnya merasa tidak peduli pada mereka. Alasan kerukunan mengakibatkan munculnya sikap menerima saudara dirumahnya sendiri serta kesediaan menyelenggarakan kebutuhan saudaranya tersebut (Suseno, 2001: 48). Rembug (musyawarah), rembug merupakan Musyawarah atau rembug merupakan kebiasaan dan usaha untuk menjaga kerukunan. Musyawarah atau rembug, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Musyawarah atau rembug adalah prosedur dimana semua suara dan pendapat didengarkan. Semua suara dan pendapat dianggap benar dan membantu untuk memecahkan masalah. Musyawarah berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau pikiran. Kebulatan itu merupakan jaminan kebenaran dan ketepatan keputusan yang akan diambil. Kebenaran termuat dalam kesatuan dan keselarasan kelompok yang bermusyawarah. Kebenaran tidak dicari diluar kelompok, atau mereka yang paling berkuasa (Suseno, 2001: 51).
Perilaku hormat berfungsi menjaga kesalarasan hubungan antara anggota masyarakat. Sikap hormat berkaitan dengan budi pekertidan unggah- ungguh dan tata krama jawa. (Endraswara, 2003a: 83). Orang Jawa, mendidik anak mereka sejak dini agar fasih mempergunakan sikap hormat yang tepat. Sikap hormat terhadap hubungan keluarga yaitu mohon maaf dan restu pada orang tua atau yang lebih tua. Orang Jawa memohon restu sebagai tanda penghormatan. Anak-anak harus menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua mereka. Penghormatan pada orang tua dinyatakan dengan kepatuhan dan penggunaan bahasa yang sopan. Rasa hormat dan patuh anak dinyatakan dengan sikap tunduk. Sikap tunduk biasanya ditunjukan dengan cara menganggukan kepala dan menundukan pandangan mata. Sikap hormat pada orang tua terdorong oleh ungkapan wong tuwa ala-ala malati, maksudnya kendati jelek, orang tua itu bertuah. Tindakan dan sikap tidak menghormati orang tua akan menimbulkan akibat buruk yang disebut kuwalat (Endraswara, 2003a: 83). Sikap hormat juga ditampilkan dalam bentuk Unggah- ungguh, Unggah-ungguh merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan dan segregasi sosial. Segregasi sosial terwujud dalam bentuk perbedaan derajat dan kedudukan. Masyarakat Jawa terbagi dalam golongan masyarakat bawah atau disebut wong cilik dan masyarakat dengan label priyayi. Kedudukan seseorang tergantung pada sejumlah sistem tataran yang berbeda-beda. Kedudukan ini sifatnya bebas, dapat dimilki lebih dari satu, dapat berbenturan atau memperkuat satu sama lain. Seseorang dapat berkedudukan tinggi pada jenjang tataran yang satu tetapi rendah pada tataran yang lain. Sistem tataran yang menentukan kedudukan manusia Jawa ini penting untuk menentukan tata pergaulannya dalam masyarakat. Umur dijadikan ukuran dalam bersikap hormat. Ukuran umur membagi masyarakat dalam golongan orang tua atau sesepuh dan golongan muda atau lazim disebut nom-noman. Unggah-ungguh mencakup beberapa perbuatan baik dalam berbicara maupun bertindak, seperti: Ragam bahasa dan Penampilan diri. Pada masyarakat Jawa tingkatan bahasa terdiri dari: Ngoko, yaitu bahasa Jawa yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang mempunyai tingkat kedudukan yang sederajat. Krama madya, yaitu bahasa campuran antara bahasa krama dan bahasa ngoko yang dipakai dalam pembicaraan antara seorang dengan orang lain yang lebih rendah derajatnya, tapi umumnya digunakan untuk bericara dengan orang yang lebih tua. Krama inggil, yaitu bahasa yang digunakan dalam pembicaraan antara seorang dengan orang yang dihormatinya. Tata krama berbicara erat kaitannya dengan tata krama yang lain, seperti sikap duduk, sikap menasehati dan dinasehati dan sebagainya. Tata krama duduk pada masyarakat Jawa masih diatur. Aturan ini berlaku untuk tata cara duduk dengan kursi maupun duduk tanpa kursi. Duduk dengan kursi tidak memperkenankan golongan muda untuk duduk pada posisi yang lebih tinggi dan bertumpang kaki. Duduk dilantai umumnya dilakukan dengan bersila (bagi laki-laki) dan bersimpuh bagi kaum perempuan. Penampilan diri dapat menyertai ungah-ungguh berbicara. Sikap hormat dalam penampilan diri dapat ditunjukan dengan berbagai cara, antara lain: sikap badan, tangan, nada suara, istilah menyapa dan cara berpakaian yang dianggap sesuai dengan keadaan dan kedudukan.
Etika Jawa secara garis besar disampaikan melalui dua cara. Pertama melalui pituduh (wejangan, anjuran) yang isinya memberikan nasihat berupa anjuran. Kedua melalui pepali (wewaler) artinya larangan agar orang Jawa menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasehat dan larangan merupakan inti budi pekerti atau etika. Tujuan pemberian nasehat dan larangan adalah keadaan selamat atau slamet. Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa disampaikan dari pihak tertentu kepada pihak lain yang memilikiposisi tidak sama (bertingkat). Etika Jawa dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keselarasan hidup manusia (Endraswara, 2003a: 37).
Dari uraian di atas kita telah mengerti apa sebenarnya etika jawa, beserta apa saja yang termasuk etika jawa, itu hanya sebagian kecil yang sebenarnya etika jawa sangatlah luas. Selanjutnya Bagaimana Relevansinya dengan kehidupan dimasa kini. Melihat keadaan yang sudah berubah, kejawen semakin kehilangan jati dirinya. Pada dasarnya etika jawa merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat jawa. Unsur- unsur yang terkandung dalam etika jawa apabila terlaksana dengan baik maka masyarakat akan rukun. Namun beberapa hal tentunya kurang relevan dan harus melakukan penyesuaian.
Rembug ( musyawarah ), saat ini masih relevan namun tidak semua keputusan dapat diambil melalui musyawarah, di era globalisasi yang mendengung- dengungkan demokrasi musyawarah bukalah satu- satunya cara untuk mencapai kesepakatan, ada istilah lain yaitu voting ( pengambilan suara dan suara terbanyak menjadi keputusan dengan aturan tertentu ) . Tiap orang tentunya punya suara masing- masing yang harus dipertahankan, apabila musyawarah tidak mencapai mufakat maka voting dapat dilakukan. Voting dapat mengefisienkan waktu pangambilan keputusan dengan anggota musyawarah yang amat banyak tentunya voting dapat dilakukan sebagai jalan tengah dalam pengambilan keputusan.
Unggah ungguh berbicara, dalam etika jawa apabila orang yang lebih muda berbicara pada orang yang lebih tua maka menggunakan bahasa krama, tapi biasanya dalam dunia pendidikan kita dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia bahkan dibeberapa sekolah bertaraf Internasional menggunakan bahasa Inggris. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah komunikasi karena tidak semua orang dapat berbahasa jawa, terutama untuk orang yang berasal dari daerah lain. Penggunaan bahasa krama juga menimbulkan sekat antara dua orang, sehingga menimbulkan keterbatasan komunikasi.
Perilaku hormat tentunya masih relevan apalagi buat orang yang dihormati, untuk orang yang jabatanya lebih tinggi, untuk orang yang lebih tua, atau orang yang dituakan. Hal tersebut sangat diperlukan saat ini agar semua tatanan dapat diatur, betapa tidak dengan sikap hormat dan patuh pada atasan kita akan melaksanakan tugas sebaik- baiknya. Dengan sikap saling menghormati kita juga akan hidup rukun di masyarakat.
Sekarang Gotong Royong sudah jarang dilaksanakan terutama pada masyarakat kota, mereka hidup secara individual. Berbeda dengan di pedesaan, masyarakat pedesaan masih kental dengan gotong royong. Mareka mempunyai istilah sambatan , sambatan biasa dilakukan oleh tetangga yang punya gawe atau pekerjaan, misalnya membangun rumah, dan lain- lain. Saat itu tetangga berduyun- duyun untuk membantu , hal tersebut sampai sekarang masih terlaksana, walaupun dimasyarakat kota hal tersebut tidak dilakukan lagi. Seharusnya Gotong Royong perlu dibudayakaan lagi pada diri sendiri terlebih dahulu.
Tentunya tidak hanya Gotong royong , Lung Tinulung dan tepo seliro masih relevan dengan kehidupan sekarang dan tetap harus dipertahankan sampai kapanpun, karena etika jawa itu baik, dan harus tetap mengalami perbaikan disesuaikan dengan zaman.
Adapun pepatah jawa yang mengatakan ”Alon- alon waton kelakon” atau dalam bahasa Indonesianya Pelan- pelan asal terlaksana, pepatah tersebut sebaiknya sudah tidak dilaksanakan lagi pada masa kini karena sudah tidak relevan dimana di masa sekarang ini orang dituntut untuk menggunakan waktu efisiaen, cepat dalam melakukan sesuattu dengan hasil yang maksimal, pepatah itu sebaiknya diambil konsep kehati-hatian bukan pelan pelan, kehati- hatian yang dimaksud adalah teliti dan melakukan sesuatu dipikir baik atau buruknya.
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etika Jawa masih relevan dengan kehidupan sekarang, terutama di lingkungan sekitar kita, adapun perubahan itu dikarenakan perubahan zaman yang menuntut perubahan atau penyesuaian pada penerapan etika jawa. Kita tentunya tidak bisa melaksanakan secara sempurna karena juga harus disesuaikan dengan kehidupan sekarang. Kita wajib mengambil sisi positnya saja. Agar saat generasi yang akan datang etika jawa tidak hanya menjadi sebuah sejarah, namun menjadi sebuah paradigma baru untuk membangun kebudayaan agar dari generasi ke generasi mengalami perbaikan , bukan penurunan moral yang terjadi saat ini dan yang selalu kita takutkan. Akhirnya mari kita semua wong jowo agar mempertahankan etika Jawa, mangga kita sami nguri- nguri kabudayan jawi.
Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2003a. Budi Pekerti dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta:
Hanindita.
Suseno, Frans Magnis. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafati Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
No comments:
Post a Comment